PROSESI Pilgub Jateng 2013 akan mencapai klimaks pada Minggu, 26 Mei 2013. Hari yang dipilih untuk pemungutan suara ini memang tidak terlalu bagus, untuk tidak mengatakan buruk.
Minggu dini hari, perhatian dan waktu penggemar sepak bola tersedot ke tayangan langsung final Liga Champions Eropa antara Bayern Munich dan Borussia Dortmund. Tentu pagi ini mereka masih mengantuk. Sebagian dari mereka adalah bagian dari sekitar 15 persen pemilih muda atau pemilih pemula.
Sehari sebelumnya, Sabtu, adalah Hari Raya Waisak yang merupakan hari libur nasional. Bagi kabupaten dan kota yang sudah menerapkan lima hari kerja dalam seminggu, libur Sabtu sudah terbiasa. Namun, bagi daerah yang masih memakai pola enam hari kerja, libur hari Sabtu bisa merupakan long weekend untuk acara keluarga ke luar kota.
Pemungutan suara pilkada pada hari libur hampir selalu diberdebatkan efektivitasnya bagi partisipasi pemilih. Karena itu, sejumlah pilkada sengaja dilaksanakan pada hari kerja yang diliburkan. Contoh terakhir adalah Pilgub Bali yang diselenggarakan pada Rabu, 15 Mei lalu.
Ancaman Golput
Karena Pilgub Jateng digelar pada hari yang ”mencemaskan”, banyak pihak mengkhawatirkan angka golput akan tinggi. Ada yang menaksir perkiraan golput bisa mencapai 40 persen atau lebih. Prediksi ini juga mencuat saat menjelang Pilgub Jateng 2008.
Pihak-pihak yang paling alergi dengan ancaman golput adalah para calon gubernur dan pasangannya, partai pengusung, tim sukses, para relawan, dan tentu saja penyelenggara.
Biaya pencalonan dan kampanye yang begitu tinggi terasa akan sia-sia jika banyak pemilih mangkir ke TPS. Anggaran pilgub Rp 621 miliar pun terasa mubazir.
Dari perspektif historis, istilah golput muncul dari gerakan perlawanan atas otoritarianisme Orde Baru yang dipelopori Arief Budiman. Untuk menandingi parodi demokrasi ala Golongan Karya sebagai mesin politik Orde Baru, Arief Budiman memopulerkan istilah golongan putih alias golput.
Dalam konteks demokrasi langsung saat ini, terminologi golput tentu sudah diartikan lain dari masa Orde Baru. Jika dulu penguasa menganggap golput sebagai simbol perlawanan dan ancaman stabilitas politik, kini golput harus diletakkan dalam kerangka teori dan realitas demokrasi.
Pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu adalah ritual paling vital dalam demokrasi. Dalam teori demokrasi prosedural, yang dipopulerkan oleh Joseph A Schumpeter dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy (1942), pemilu adalah barometer kesuksesan pelaksanaan sistem pemerintahan demokratis di sebuah negara.
Namun, sebagaimana kita ketahui bersama, prasyarat untuk itu belum sepenuhnya terpenuhi. Partai-partai politik dan para kandidat yang diusungnya tidak se-penuhnya dipercaya oleh publik. Anomali ini sebagian diciptakan sendiri oleh elite partai politik.
Faktor heterogenitas masyarakat dan proses menuju konsolidasi demokrasi adalah sebagian dari penyebab kemunculan anomali itu. Masyarakat yang heterogen menyebabkan pendapat dan preferensi pemilih yang beragam pula.
Di lain pihak, masa transisi politik dari otoritarianisme ke sistem yang demokratis berjalan lamban. Konsolidasi demokrasi tidak cepat terwujud.
Aspek lainnya terkait idealisme demokrasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Sistem pemilihan langsung hanyalah bagian dari proses kreasi bangsa Indonesia untuk mewujudkan idealisme itu. Apakah kreasi itu menuju cita-cita yang dimaksud, masih tergantung improvisasi selanjutnya.
Dalam realitasnya, demokrasi tidak selalu sejalan dengan idealismenya. Cita-cita kesamaan hak politik (political equality) dan kedaulatan publik (popular sovereignty) tidak pernah nyata dalam kehidupan politik demokratis.
Sistem pemerintahan cenderung membentuk pola oligarki dan kekuasaan oleh segelintir elite politik.
Itulah sebabnya muncul antagonisme politik. Masyarakat yang merasa tidak terlibat langsung dalam pemerintahan dan menganggap siapa pun yang berkuasa tidak akan mengubah nasib mereka, cenderung bersikap pasif. Kondisi ini menjadi antitesis bagi partisipasi politik publik.
Untuk menyikapinya, pendidikan politik oleh parpol adalah instrumen sosialisasi yang penting. Begitu pula pendidikan pemilih oleh penyelenggara pilgub.
Sayang, fungsi-fungsi ini belum dijalankan dengan baik. Karena itu, masyarakatlah yang akhirnya perlu sadar bahwa apatisme politik akan menjerumuskan demokrasi ke bentuk anomali yang lain.
Cara untuk mengoreksi demokrasi adalah dengan menggunakan hak pilih. To vote bukan sekadar memilih melainkan juga memberi mandat dan mengawasi seseorang untuk memimpin pemerintahan.
Oleh A Zaini Bisri Suara merdeka
Posting Komentar